Sang Maestro Baru Serigala Ibukota. Pada 16 November 2010 seorang
pemuda bernama Erik Manuel Lamela mencuri perhatian dalam laga Superclassico antara
River Plate dan Boca Juniors (salah satu pertandingan yang harus Anda saksikan
sebelum mati). Lamela bergerak berulang kali, menyulitkan barisan pertahanan
Boca dan membuat River menguasai pertandingan — dan menang meski skor tipis
1-0. Lamela mungkin langsung masuk radar dan melejit di database
klub-klub besar Eropa sejak saat itu. Yang pada akhirnya beruntung memboyong
Lamela adalah AS Roma. Pada Agustus 2011, Lamela resmi berseragam klub ibu kota
Italia itu.Lahir di Buenos Aires, kota yang disebut-sebut sebagai Paris-nya
Amerika Selatan, Lamela pun hijrah ke Roma. Suasana sibuk Buenos Aires yang
juga artistik dan terpelajar layaknya kota-kota besar Eropa seharusnya tidak
berbeda jauh dari kota abadi Roma. Bukan adaptasi yang sulit buat Lamela.
Terlebih, di Roma dia dilatih oleh Luis Enrique, pelatih yang
sehari-hari berbahasa sama sepertinya. Setidaknya, bahasa tidak akan terlalu
menjadi masalah, meski ia wajib juga menguasai bahasa Italia. Tetapi Lamela
sadar bahwa bukan bahasa Italia saja yang harus cepat ia pelajari. Yang
terpenting, ia harus mempelajari sepak bola Italia. Sepak bola Italia
tidaklah sama dengan Argentina. Di saat Argentina memberi banyak ruang dan
penghormatan untuk pemain berbakat dan suka menggiring bola seperti dirinya
ataupun para Enganche yang malas berlari macam Juan Roman Riquelme,
sepak bola Italia tidak demikian.
Sepak bola Italia dikenal penuh taktik, intrik, berorientasi pada
hasil dan tentu saja mengutamakan pertahanan. Seorang pemain pemain menyerang
juga dituntut untuk memiliki kewaspadaan bertahan alias defence awareness. Lamela
merasa kesulitan karena taktik canggih bukanlah makanannya sehari-hari di
Antonio Vespucio Liberati. Gaya bermainnya cenderung individualis, flamboyan,
dan itu ternyata mengundang masalah. Di dalam klubnya sendiri, Lamela
bersitegang dengan Pablo Osvaldo, yang juga berasal dari Argentina.
Osvaldo kesal karena Lamela tidak kunjung mengoper bola kepada Osvaldo
saat laga melawan Udinese, November 2011. Di ruang ganti, Osvaldo menegurnya
dengan keras dengan mengatakan bahwa ini bukanlah River Plate. Lamela membalas
tak mau kalah dengan mengatakan “Diam, kamu bukan Maradona!” Kontan baku hantam
terjadi antara pemain berbeda generasi itu. Meski akhirnya berdamai dengan
Osvaldo dan mentraktir rekan setim di restoran sebagai bukti rekonsiliasi, cap
pemain sulit diatur terlanjur melekat pada Lamela. Tidak itu saja, selang lima bulan setelahnya dalam laga melawan
Juventus di bulan April tahun lalu, Lamela kedapatan meludahi Stephan Lichtsteiner.
Insiden ini berujung pada hukuman tiga pertandingan untuknya. Masa-masa
sulit itu ditambah dengan kinerja klub yang tidak kunjung meraih hasil
memuaskan. Lamela juga tidak terlalu produktif, baik dalam mencetak gol maupun
mengirim umpan matang. Kariernya di Italia terancam. Di akhir musim 2011/2012, Luis Enrique mengundurkan diri setelah
hanya mampu membawa Roma menduduki posisi 7, yang berarti kegagalan Giallorossi mengikuti
kompetisi Eropa musim berikutnya. Kepergian pelatih asal Spanyol ini membuat
Lamela ketar-ketir. Luis Enrique adalah pelatih yang banyak memberinya
kesempatan, juga memainkan skema 4-3-3 yang menjadi kesukaan Lamela. Ia sempat
ingin hengkang.
Kegelisahan Lamela pupus setelah Roma mengangkat Zdenek Zeman
sebagai pelatih baru pengganti Luis Enrique. Zeman sukses membawa Pescara
promosi ke Seri A. Dan dia terkenal dengan permainan ultra attacking dengan
skema 4-3-3, dan prakteknya di lapangan kadang menjadi 0-2-8. Di tangan
Zeman, permainan Lamela yang bahkan belum mencapai potensi optimalnya ini sudah
jauh membaik. Sepuluh gol telah ia ciptakan sejauh ini yang memberi napas bagi
kompetisi Seri A yang kering bintang. Situs Whoscored menempatkan
Lamela sebagai pemain dengan penampilan terbaik dengan rata-rata nilai
tertinggi di antara skuat Roma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar